Text
Negara bukan-bukan
Indonesia adalah negara yang bukan-bukan. Inilah pernyataan Gus Dur yang banyak dikutip orang, baik politisi, pejabat, akademisi maupun aktivis LSM. Pernyataan itu demikian pas untuk menggambarkan ketidaktegasan kita dalam menghadapi banyak hal. Kita sudah mengetahui kebiasaan buruk itu, tetapi kita tidak kuasa untuk menggubahnya. Sungguh getir, karenanya lebih baik dipakai bahan guyonan saja.Pernyataan Gus Dur itu disimpulkan secara langsung dalam kesempatan berbincang-bincang dengan mantan Presiden Try Sutrisno. Menurut Pak Try, demikian Gus Dur, Indonesia ini bukan negara agama; Indonesia juga bukan negara sekuler. Karena itu, kesimpulannya, kata Gus Dur, Indonesia adalah negara yang bukan-bukan.Dalam khasanah sosiologi, dikenal istilah anomali. Istilah itu untuk menggambarkan masyarakat yang tengah berubah sehingga tidak memiliki karakter tertentu. Nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan lama sudah ditinggalkan, akan tetapi nilai-nilai atau kebiasaan-kebiasaan baru belum ditemukan. Dalam konteks Indonesia, suasan itu sangat pas untuk menggambarkan Indonesia pada zaman Orde Baru.Presiden Soeharto sebagai representasi paling kongkrit negara Orde Baru adalah figur yang dengan jelas menggambarkan ambivalensi itu. Dia menyerap dan menerapkan gagasan moderen tentang pembangunan, tetapi pada saat yang sama dia juga menekuni dunia klenik. Selain punya ekonom, untuk mengelola negera dia juga punya dukun. Soeharto menolak sosialisme yang dianggap tak sesuai dengan watak bangsa. Namun pada saat yang sama dia menyatakan, bahwa kita tidak perlu mengikuti kapitalisme yang terbukti telah menyengsarakan rakyat. Dia kembangkan sistem demokrasi Pancasila, karena demokrasi Barat tak cocok dengan kepribadian bangsa. Tetapi istilah demokrasi dalam demokrasi Pancasila menunjukkan bahwa kita mengakui nilai-nilai Barat itu. Mungkin karena kita telah termakan pendidikan politik Orde Baru, atau mungkin juga kegemaran mencomot separo dari sana separo dari sini sudah menjadi watak dasar kita, maka pascatumbangnya Orde Baru pun kita masih mengikuti cara pandang dan cara laku Soeharto. Untuk mereformasi politik misalnya, kita sudah melakukan banyak hal. Tapi karena perubahan-perubahan itu sifatnya setengah-setengah, maka sistem politik kita menjadi stagnan. Sudah dua kali kita menyelenggarakan pemilu bebas, yakni Pemilu 1999 dan Pemilu Legislatif 2004, namun hasilnya sungguh mengecewakan. Para anggota parlemen sering bertarung sengit dalam persidangan, tetapi yang diperjuangkan adalah kepentingan partai, bukan kepentingan rakyat. Dan itu logis karena sistem pemilu kita masih menempatkan posisi partai sebagai pihak yang dominan dalam menentukan jadi tidaknya calon. Padahal para politisi selalu gembar-gembor meningkatkan akuntabilitas publik parlemen. Kita punya DPR untuk mewakili orang, juga punya DPD untuk mewakili wilayah. Tetapi keduanya tidak berjalan seimbang. Mau mengembangkan sistem bikameral, tetapi para penghuni kamar baru tidak diberi peran apa-apa. Celakanya, pada saat yang sama anggota DPR juga bisa mengklaim bahwa dirinya juga berhak mewakili daerah, karena mereka dipilih dari satu daerah pemilihan tertentu. Jadi gak jelas bukan? Benar kata Gus Dur, Indonesia adalah negara yang bukan-bukan. Dan kita yang ada di dalamnya juga manusia yang bukan-bukan. Itulah karakter kita, sehingga negara dan bangsa ini tidak bergerak meskipun telah direformasi selama hampir sepuluh tahun.
B210008803 | 320.5P Nur n | Perpustakaan Sasana Widyatama (300) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain